Rabu, 25 Maret 2015

Dari Arah yang Tak Disangka


Siang itu matahari terasa sangat terik. Saya memutuskan untuk menepikan motor di tepian jalan yang ditumbuhi rerumputan. Tepat disamping tempat saya menghentikan motor terdapat sebuah pohon yang hanya menyisakan sedikit daun saja. Maklum, musim kemarau memang memaksa dedaunan meranggas. Meski begitu,pohon yang nyaris gundul itu lumayan sebagai tempat berteduh barang sejenak, walaupun sama sekali tidak rindang. Tampak sepeda motor, angkutan umum, dan kendaran berat yang mengangkut material proyek berlalu-lalang melintasi aspal rusak di depan saya. Tak pelak lagi, debu bersama hawa panas pun menampar-nampar muka. Ingin sekali rasanya saya tidak terdampar di tempat ini. Duduk manis saja di kantor full AC dengan segelas teh manis ditangan lengkap dengan monitor PC di hadapan saya. Itu jauh lebih menyenangkan. 

Ya, siang ini saya ada jadwal mengunjungi calon donatur baru. Sebagai seorang marketer pada sebuah lembaga kemanusiaan nasional dan zakat center (PKPU-red), pekerjaan saya memang lebih banyak habis di lapangan. Dan kali ini perjalanan menuju rumah calon donatur tersebut nyaris memakan waktu satu jam. Cukup melelahkan,,apalagi mood saya hari itu kurang begitu baik. 

Saya pun beringsut meninggalkan motor,menuju kerumunan ibu-ibu yang mengelilingi sebuah gerobak sayur, mangkal tak jauh dari tempat saya menghentikan motor. Dengan santun saya menanyakan sebuah alamat. berdasarkan hasil penelusuran google maps yang saya cek sebelum berangkat tadi alamat yang saya cari ada di daerah ini, tinggal memastikan saja dengan bertanya kepada penduduk sekitar. Benar saja, ternyata saya berhenti di daerah yang tepat, hanya saja telah melewatkan beberapa blok saja dari tempat saya berdiri. Tak masalah. Saya pun segera pamit setelah mengerti petunjuk navigasi yang diberikan oleh ibu-ibu tadi. Ingin segera meninggalkan tempat gersang ini.

Saya tertegun demi melihat rumah yang saya tuju. Saya cocokkan kembali no rumah dengan secarik kertas dalam genggaman saya yang berisi alamat itu. Cocok. Memang rumah ini yang saya cari. Sebuah rumah kecil dan sederhana yang tak memiliki teras, hanya secuil halaman sempit yang telah diubah menjadi tempat menjemur baju. Tampak rumah ini lebih sederhana dibandingkan dengan rumah lain yang ada di sekitar komplek itu. Yang membuat saya tertegun ketika melihat rumah itu, karena saya belum begitu yakin jika pemilik rumah itu adalah calon donatur. Selama ini saya selalu mengunjungi donatur kaya yang memiliki rumah keren, mobil mewah, kantor nyaman, dan sejumlah fakta lain tentang donatur lembaga zakat. Tapi apa salahnya kalau saya coba. Toh, donatur tersebut yang telah menelepon kantor kami. Beliau meminta tim dari lembaga kami untuk datang ke rumah dan minta dijelaskan tentang program-program lembaga kami. Dan tugas itu jatuh pada saya. 

Kaki saya pun mengayun menyeberangi jembatan mini depan rumah yang menghubungkan halaman dengan jalan. Keduanya dipisahkan sebuah selokan yang cukup dalam. Seorang wanita pun keluar menjawab salam saya. Umurnya baru berkisar tigapuluhan. Ternyata memang benar, ibu itu yang telah meminta saya datang. Saya pun diajak memasuki rumah dan dipersilakan duduk. Dengan ramah sang ibu berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada saya yang telah mau mengunjungi rumah beliau yang sederhana itu. Memang ini pekerjaan saya ibu.

Kami pun beramah-tamah. Saya memperkenalkan diri dan profil lembaga zakat yang kami kelola, saya lanjutkan dengan presentasi program-program yang kami laksanakan. Perbincangan tetap berlanjut dengan diskusi setelah saya kehabisan materi. Di ruang sempit itu kami duduk lesehan membicarakan hal yang membuat saya sungguh merinding. Saya melihat begitu besarnya semangat si ibu untuk berbagi. Bahkan saya pun mengakui jika saya telah kalah telak dengan beliau. Di sisi lain profesi saya yang menjadi bagian dari sebuah lembaga zakat, saya ternyata belum memiliki ilmu seperti milik si ibu. 

“Kata guru ngaji saya mbak, kita itu tidak usah menunggu kaya untuk sedekah. Karena karakter dasar manusia itu selalu tidak puas, jadi saya rasa sulit untuk sedekah jika prinsip kita menunggu kaya. Yang saya banyak pelajari dari kehidupan ini adalah semakin kita banyak sedekah, maka semakin kayalah kita. Alhamdulillah suami saya juga selalu membimbing saya. Beliau tidak pernah mengajarkan saya untuk menahan uang di dalam dompet saja. Kata beliau bagaimana bisa kita bertahan menyimpan harta saja sedangkan orang lain sangat membutuhkan. Ketika kita hanya menjadi penonton saja dalam sebuah kisah pilu anak Adam, maka patut kita pertanyakan diri kita sendiri tentang sisi kemanusiaan kita.” Saya hanya termangu. 

“…dan saya juga tidak mau menganggap diri saya sendiri miskin dan tak punya apa-apa, walaupun memang saya bukan orang kaya, tapi Allah telah mencukupkan rejeki saya. Bagaimana Allah nanti tidak murka dengan kita, jika setiap kali kita dicukupkan rejeki olehNya kita selalu mengatakan 'aku ini orang yang tidak punya, miskin,' dan selalu beralasan 'tidak cukup untuk esok lusa jika aku mensedekahkan harta yang tersisa hari ini,' ini berarti kita tidak pernah berterima kasih kepada Yang Memberi rejeki. Maka jangan pernah merasa diri kita tidak punya apa-apa, karena sesungguhnya Allah telah mengalirkan banyak rejeki kepada kita, hanya saja kita selalu merasa kurang karena kita tak pernah mencoba untuk bersyukur…”

Ada energi luar biasa yang dipancarkan oleh ibu itu. Saya masih ingat bagaimana sederhananya rumah kontrakan yang didiaminya. Sebuah ruang tamu sempit dengan karpet usang yang sekaligus berfungsi sebagai ruang kerja laundry, sebuah kamar tidur, sepetak kamar mandi dan sepetak kecil lagi ruang dapur yang hanya dipisahkan tirai dengan ruang tamu. Rumah yang sangat sederhana, tapi penghuninya tak sesederhana seperti yang saya duga. Untuk kebutuhan sehari-hari, sang suami membuka jasa laundry di rumahnya yang relatif sepi dan sering dihutang (maklum, di desa), dan untuk menambah penghasilan, si ibu berprofesi sebagai tukang pijat, penghasilan mereka otomatis tak menentu. Si ibu dan suaminya juga membuka TPQ gratis bagi anak-anak sekitar rumah mereka. Bahkan si ibu juga tak takut mengeluarkan banyak biaya agar anak-anak mau mengaji. Dengan menghidupi dua anak yang sudah bersekolah,mereka tak pernah takut bahwa esok hari tak akan ada  rejeki jika mereka sedekahkan hari ini. Bukankah rejeki itu akan datang dari arah yang tidak disangka-sangka? Dan itulah ilmu yang mereka pakai.

Siang itu saya pun pulang dengan rasa berbeda dengan ketika berangkat. Memang duduk di kantor sepertinya lebih menyenangkan, tapi jauh-jauh saya mendatangi desa tandus ini, sepertinya ini jauh lebih baik. Selamat menjemput rejeki, selamat berbagi.


Oleh : Asroningrum Barodin, 
CRM PKPU Semarang

0 komentar:

Posting Komentar