Kamis, 23 Februari 2012

Cerita tentang Pangeran dan Jamban

Penulis: Syaja'atul 'Aisyah, S. Hum

Aku teringat pada kisah-kisah hikmah, dongeng-dongeng dan cerita-cerita jaman dahulu kala yang seringkali ku baca di waktu aku kecil dulu.

[sejak aku kecil, aku sangat suka sekali membaca. Terutama tentang cerita-cerita hikmah dari banyak kisah kehidupan, kisah-kisah para nabi dan sahabat nabi. Terima kasih kepada bapakku karena telah menyediakan banyak buku-buku itu di rumah. Banyaaak sekali. Bahkan bisa berkardus2 kalau dikumpulkan. Aku masih ingat, aku adalah salah satu pelanggan setia majalah Aku Anak Saleh, dan sampai sekarang cerita-cerita dan inspirasi itu masih membekas dalam nuraniku]

Ini adalah salah satu kisah yang aku pernah baca di waktu aku kecil dulu. Pada suatu ketika hiduplah seorang anak raja atau pangeran. Sifatnya yang sombong sangat bertolak belakang dengan ayahnya, yaitu baginda raja yang merupakan seorang yang bijaksana dan dicintai rakyatnya.

Si pangeran hidup bergelimang harta, bergaya hidup penuh kemewahan, menghambur-hamburkan harta kekayaan ayahnya tanpa pernah mengerti arti kekurangan apalagi mengenal kemiskinan. Namun begitu dari lubuk hati pangeran, ia tak pernah merasa 'bahagia'. Semuanya nampak semu baginya. Ia tidak mengerti bagaimana arti syukur. Memang susah kalau sedari kecil ia selalu hidup termanjakan dengan segala fasilitas yang lengkap namun tanpa diajarkan arti mengenai tanggung jawab terhadap fasilitas yang ia terima. Melihat kondisi anaknya yang sulit diatur dan bertabiat buruk, ayahnya sangat prihatin namun tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mendidik dan membimbing anaknya ke jalan yang benar.

Suatu hari si pangeran berkesempatan keluar dari lingkungan istana. Niatnya ingin refreshing dan berjalan-jalan, penasaran dengan keadaan dunia di luar istana. Dan tersentaklah ia melihat begitu mencoloknya perbedaan antara kehidupannya di istana dengan kehidupan rakyatnya yang jelata. Orang-orang berbaju lusuh dan kumuh bagai pemandangan dan hal yang biasa di jalanan. Terdengar tangisan anak-anak yang merengek kepada ibunya. Mereka merintih menahan sakit perut karena kelaparan.

"Ternyata kehidupan itu seperti ini.... sangat menyedihkan yang dialami rakyatku....". mungkin begitu yang digumamkan dalam batinnya. Kemudian sinar hidayah itu datang, hatinya terketuk. Ia tersadar. Ia seperti terkena shocked therapy. Dan kemudian ketika ia kembali ke istana, ketika masanya tiba untuk menggantikan posisi ayahnya, ia telah siap. Ia menjadi raja yang bijaksana dan dicintai rakyatnya. Sama seperti ayahnya.

***
Ada beberapa kisah yang intinya hampir sama seperti ini, namun dengan banyak versi yang berbeda-beda. Bagaimanapun kisah ini bukan mitos. Karena konon salah satunya adalah kisah yang dialami sendiri oleh Sidharta Gautama. Beliau semula adalah seorang pangeran yang buta dengan kesengsaraan rakyatnya, dan ketika ia tersadar dan hidayah itu datang, ia memilih jalan untuk hidup 'zuhud' di luar istana.

Salah satu hikmah/pesan moral yang dapat diambil dari cerita di atas adalah bahwa ketika kita hanya melihat dunia pada lingkungan 'dalam istana', maka yang kita rasakan adalah dunia ini tampak menyedihkan, tampak membosankan, kita kurang mensyukurinya, padahal kita sudah hidup di 'istana'.
namun cobalah kita berjalan 'keluar istana', ada banyak hal yang dapat kita jadikan cermin untuk refleksi diri. Bahwa ada lebih banyak kata kesedihan, kemalangan, air mata di luar 'istanamu', yang Tuhan dapat tunjukkan pada kita untuk menyatakan bahwa...
"Tidak bisakah kau untuk masih bisa bersyukur kepadaKu? ku timpakan kesedihan kepadamu, namun masih juga kuberikan nikmatKu padamu. Tidak bisakah kau untuk masih bisa bersyukur?? ku timpakan kemalangan padamu, namun ada yang lebih malang lagi yang menimpa saudaramu."

***

Sahabatku,
tulisan ini aku tulis sebagai buah dari perenungan, setelah aku melakukan tugas untuk survey lapangan pada pihak dhuafa, calon penerima manfaat program 1000 jamban kami. Kiranya baru berbilang hari aku kini telah bekerja pada suatu lembaga kemanusiaan, suatu lembaga yang sudah berdiri kurang lebih 11 tahun dengan 16 cabangnya yang tersebar di seantero nusantara. PKPU nama lembaga tersebut, yang merupakan kepanjangan dari Pos Keadilan Peduli Umat.

Sejauh pengamatanku, nafas/ruh yang telah membesarkan lembaga ini adalah ada pada kata PEDULI di dalam nama PKPU.

coba anda berpikir tentang kata PEDULI. dan temukan maknanya menurut apa yang anda ketahui dan anda pikirkan sejauh pengalaman hidup yang anda punya.

Ini pemikiran saya, pada dasarnya adalah kalau kita tidak peduli mana mungkin kita [memulai aktivitas] berbagi [kebaikan, keramahan, hadiah, nasihat, dll]. Pun bagiku secara pribadi, bagi amil yang bekerja dalam PKPU ini, kalau kita tidak PEDULI, mana mungkin kita bekerja dalam lembaga kemanusiaan ini. Tentu saja lebih pas memilih bekerja pada wilayah yang komersial. Kalau pun karena masalah penghasilan, PKPU tidak memberikan banyak 'iming2 dunia' bagi para karyawannya, sehingga dijamin jika tidak benar2 berniat.... maka boleh coba merasakan, berapa lama bisa betah bekerja di sini, hehe. Walaupun begitu, di sini aku bukan bermaksud membicarakan tentang masalah bagaimana jika anda bekerja sebagai amil. Ini karena masalah pekerjaan yang anda tekuni dan anda pilih pun adalah bisa jadi karena banyak faktor, misalnya passion, keluarga, dll. Dan kemudian, karena untuk menunjukkan rasa PEDULI pada sesama yang membutuhkan, anda tidak perlu harus berprofesi sebagai amil, anda pun dapat melakukannya dengan memberikan donasi pada kami :) terima kasih.

***

Kembali pada ceritaku tentang survey. Lokasi rumah yang ku datangi bersama seorang rekanku dari PKPU, yang tanggap dan sigap, adalah berada pada daerah Semarang Timur. Sebuah kawasan dengan banyak gang-gang kecil, rumah dengan halaman yang minimalis atau bahkan tak berhalaman, area kawasan pemukiman yang sederhana menengah ke bawah. Nah, beberapa diantara rumah tersebut kami temukan rumah2 yang tak berjamban.

Kalau hanya untuk membangun jamban saja, rumah tersebut kesulitan untuk memenuhi kebutuhan itu [jadi inget kasus DPR yg protes sama toilet mereka di senayan sono], apalagi untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari2 lainnya. semua akan sangat serba pas-pas-pas-pas-pas-pas-pas-pas-pas-an plus [pasti biasanya] dengan berhutang tutup-gali-tutup-gali-tutup-gali-tutup lubang :D

Beberapa rumah memiliki 'toilet dan kamar mandi' yang berlokasi di depan pintu rumah mereka, yakni pada area yang biasa dipakai sebagai teras pada beberapa rumah dengan kondisi yang lebih beruntung. 'toilet' nya berupa sumur, dan ada yang tak berpintu.

Karena saya bertugas pada bagian dokumentasi, saya tidak memiliki banyak informasi lebih lanjut dan kurang menahu apakah penghuni rumah tersebut benar-benar mandi di tempat itu atau kemudian menumpang merepoti para tetangganya ataukah mereka harus mencari masjid setiap kali mandi atau melakukan BAB.

Sodara2... kalau saya ingat iklan-iklan yang gencar dengan produk mereka yang bisa menyehatkan tubuh dengan memperlancar BAB para konsumennya, maka saya miris melihat kondisi calon penerima manfaat kami. boro2 mikirin bagaimana biar bisa BAB lancar... lha jambannya buat BAB nya dulu mana?? kagak ada....  *prihatin, ngelus2 dada.

Ketika aku berjumpa dengan mereka [calon penerima manfaat 1000 jamban kami], jujur air mataku tidak [bisa] keluar. Pertama, karena beberapa tahun ini aku memang menjadi tidak secengeng dulu seperti yang sebelumnya. Kedua, ada pergolakan batin dalam hatiku. Apakah tidak apa2 jika aku menangis? Apakah tidak apa2 jika raut wajahku terlihat bersedih dan muram. Aku khawatir, jika raut wajahku menunjukkan kesedihan, akan muncul eses2 yang negatif. Pertama, bisa jadi calon penerima manfaat hatinya tersungging, eh, tersinggung. Kedua, bisa jadi benteng kesabaran, keteguhan iman yang mereka miliki nantinya akan jebol. bisa jadi mereka stres karena masalah ini... hmmm... jadi stres karena masalah jamban? Apakah aku berlebihan? :D




"Dibetah2ke mbak tinggal di sini..." kalimat itu meluncur dari mulut si ibu. Kacau balau hatiku mendengarnya, seperti di lagu anak2 ketika balon hijau meletus. Coba kalau si ibu melihat tayangan di tv, tayangan2 penawaran2 marketing tentang 'surga' apartemen mewah, atau rumah2 besar di sinetron2 yang disiarkan oleh stasiun televisi tercinta kita.

Nah, perjalanan surveyku itu benar2 jadi 'wisata ruhani' buatku... Seperti yang ku maksudkan dengan 'perjalanan sang pangeran yang keluar dari istana emasnya'. Ini bukan berarti kali pertama aku melihat rumah dengan kondisi seperti itu. Namun beda rasanya ketika terjun langsung ke lapangan. Ini bukan seperti yang biasa anda lihat pada foto2 di majalah, ataupun tayangan2 berita di tv. Banyak perenungan yang ku dapat setelahnya. Mungkin hidup yang ku miliki sekarang bukanlah seperti istana emas, eh, itu nanti di surga saja, insyaAllaah, tapi aku merasa jauuuuuh lebih baik dari mereka.

Kalau aku hanya terpaku dan melihat pada 'suasana dalam istanaku' tanpa pernah beranjak menengok bagaimana kehidupan 'di luar istana', tentu nikmat Allaah yang ku rasakan semuanya akan tampak semu. Aku tidak akan pernah merasa puas.

Apakah anda pernah tergerak untuk mengunjungi atau silaturahim pada 'rumah2 dg kondisi seperti itu? Apakah anda pernah tergerak untuk peduli pada mereka dengan memberikan bantuan yang mungkin sekadarnya semampu anda? Apakah anda pernah menyalami tangan2 mereka? Apakah anda pernah berpikir bagaimana jika Tuhan membalik nasib anda, mereka hidup dalam rumah anda, dan anda hidup dalam rumah mereka?

Semoga Tuhan membuka mata hati kita sehingga kita senantiasa dapat menyemai rasa syukur dalam hati kita dan membagikan syukur itu kepada setiap orang... tanpa pandang bulu.

Maaf jika ada kata yang kurang berkenan.








Bagi para donatur yang ingin berpartisipasi dalam kegiatan PKPU lainnya dapat datang langsung ke Graha Peduli PKPU kami di Jl Setiabudi No. 70 Banyumanik Semarang atau menghubungi call center kami di (024) 70787578 untuk layanan jemput donasi. Anda juga dapat melakukan transfer donasi ke rekening kami di BCA MT Haryono Semarang : 252.3016075 an. PKPU.








0 komentar:

Posting Komentar