Rabu, 03 Februari 2016

“Kami Hanya Mengandalkan Air Hujan” Kisah Para Pencari Air di Tanah Berbatu Wonogiri

Udara sejuk memenuhi rongga paru-paruku, sepertinya hujan membasahi Tembalang - Semarang semalam tadi. Atau mungkin karena masih terlalu dini hari, untuk ukuran kota yang telah terkontaminasi polusi, udara pagi ini cukup menyegarkan. Hari ini aku bersiap lebih awal dari biasanya. Aku dan teman-teman telah membuat kesepakatan, pukul 05.00 kami bertemu di kantor. Sebuah misi yang berawal dari mimpi akan kami jalankan hari ini. Semoga misi kami berjalan lancar.
Bekerja di sebuah Lembaga Kemanusiaan Nasional selama dua tahun adalah arena bagiku untuk menjelajahi dunia filantropi dan segala isinya. Selama penjelajahan ini aku menemukan banyak hal lain tentang arti berbagi. Tentu tak hanya aku, pun dengan teman-temanku seperjuangan. Banyak cerita dan catatan seru juga haru yang kami dapatkan selama langkah kaki kami mengayun dan berlari. 
Catatan perjalanan kami kali ini adalah tentang sebuah pencarian sumber kehidupan yang terkubur jauh di bawah tanah bebatuan. Tentang misi yang mengantarkanku pada sebuah tempat di Wonogiri yang selalu krisis air di kala kemarau. Aku tak menyangka, Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah, ternyata ada juga di sudut lain wilayahnya yang kekurangan sumber daya alam. Daerah ini bernama Dusun Gambiranom, Desa Gambirmanis, Pracimantoro Wonogiri. Informasi dari tim pendahulu kami yang telah mengadakan survey geolistrik sebelumnya, terdapat debit air yang cukup di kedalaman 170 meter di bawah permukaan tanah. Sebuah angka yang fantastis untuk usaha pengeboran sebuah sumur.
….
Wonogiri. Kami telah memasuki daerah perbukitan. Jalan yang kami laluipun mulai menyempit, bukan jalan beraspal lagi. Rupanya jalan ini dibangun dari susunan bebatuan yang ditata rapi. Untuk memudahkan kendaraan lewat, lajur kanan dan kiri jalan ini ditutup dengan semen, hanya selebar roda mobil saja. Ketika roda mobil keluar dari lajur semen, goncangan akan lebih terasa seperti gempa karena melewati jalan berbatu. Mata kamipum dimanjakan dengan warna hijau di kiri kanan jalan yang terlihat dari jendela mobil, tampak pohon-pohon jati dan tanaman jagung sedang meninggi dengan suburnya.
“Daerahnya hijau, seperti tak kekurangan air,” gumamku.
“Saat hujan seperti ini memang terlihat subur, namun jika musim kemarau menjadi gersang,” kata Pak Indra yang sebelumnya pernah datang survey kesini.
Mobil masih melaju dengan perlahan di jalan berbatu. Dari kejauhan tampak seorang nenek berjalan di depan kami. Mendadak beliau menjadi perbincangan hangat kami, mengalahkan topik pembicaraan sebelumnya. Kami lihat nenek itu berjalan tanpa alas kaki menyusuri jalan berbatu di bawah terik matahari. Yang membuat aku bertanya-tanya, dari mana dan kemana tujuan nenek tersebut, karena sejak kami memasuki jalan perbukitan ini, kami takmenemukan rumah penduduk. Praktis, kami menyimpulkan sepertinya nenek tersebut telah berjalan seorang diri cukup jauh diantara pepohonan jati dan jagung dengan terpaan terik matahari. Kami pun memutuskan untuk memberi tumpangan kepada nenek tersebut. Ternyata sebelum mobil kami berhenti untuk menawarkan tumpangan, sang nenek telah melambaikan tangan terlebih dahulu, sinyal bahwa beliau membutuhkan tumpangan yang sebenarnya akan kami tawarkan. Nenek tersebut tampak sangat lelah, kakinya tampak kasar, legam dan pecah-pecah. Wajah keriputnya semakin mempertegas usianya yang tak lagi muda. Kami pun mempersilahkan nenek untuk masuk ke dalam mobil. 
Salah seorang teman yang duduk di sebelah nenek itu mencoba mengajaknya berbicara. Aku yang Jawa coret ini tidak paham apa yang mereka bicarakan. Hanya sedikit tahu jika ia berjualan daun jati yang harganya takseberapa dan selalu berjalan berangkat dan pulang lagi sampai ke rumahnya. Padahal jarak tempuh antata rumah dan pasar sangatlah jauh. Pantas saja kakinya dipenuhi varises, mungkin karena ia terlalu banyak berjalan. Hingga ketika kami sampai rumahnya, sang nenek menunjukkan rumah yang terlihat bagus di bagian depan milik anaknya, sedang di belakang rumah bagus yang ditunjuk nenek adalah rumah miliknya. Ingin rasanya aku meneteskan air mata. Rumah nenek itu lebih mirip sebuah kandang dengan dinding kayu usang dan ukuran petak yang kecil. Atapnya pun tak terlalu tinggi, hingga jika beberapa diantara kami akan masuk harus merendahkan kepala kami. Kenapa perbedaannya begitu mencolok antara ia dan anaknya. Pertanyaan besar yang hanya kusimpan sendiri. Pertemuan kami dengan sang nenek semakin membuat kami ingin membantu dusun ini.
Perjalanan dilanjutkan menuju rumah kepala dusun. Saat ini kondisinya sedang musim hujan, jadi lumayan mata dimanjakan dengan warna hijau. Sedangkan jika kemarau tiba, seperti berada di kota mati daerah gurun. Tampak kanan kiri bukit batu yang tertata apik. Seperti ditata sedemikian rupa.

Sesampainya kami di rumah kepala dusun Gambiranom, disambut dengan ramah. Rumah khas pedesaan dengan kandang sapi disebelah rumah. Sepertinya sedang ada pekerjaan disana. Bapak-bapaknya sedang mengolah kayu menjadi daun pintu.
Masuk ke dalam rumah, dengan kondisi ruang tamu yang lebar. Tak seperti rumah modern sekarang yang minimalis. Rumah dengan kursi dari kayu dan meja panjang yang sederhana. Menggambarkan sang pemilik rumah yang sederhana. Kami dipersilahkan duduk, dan dihidangkan makanan dan minuman dari hasil pertanian mereka. Disana pertama kalinya dalam 25 tahun, aku merasakan minum menggunakan air tadah hujan, pengalaman yang makin memperkaya spiritualku untuk lebih bersyukur dengan cara yang berbeda.

Cara mereka menyambut tamu sangat ramah dan memuliakan tamu. Semua dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. “Bagaimana rasanya?”, tanya bapak kepala dusun. Seperti cenayang yang tahu benar tentang kegelisahan kami.
Beberapa temanku menjawab,”Enak pak”. Aku hanya tersenyum tanda setuju.
“Semoga teman-teman dari PKPU Semarang suka dengan hidangan yang kami sediakan”, ucap pak kepala dusun.
Tanpa pikir panjang aku mengambil beberapa kacang dan jagung manis. Kacang yang digoreng menggunakan batu-batu halus menyerupai pasir dan jagung manis yang direbus dengan air tadah hujan. Mungkin ini yang disebut bali ndeso. Warga yang memanfaatkan kearifan lokal di sekitar, sayangnya mereka tak memiliki sesuatu yang sangat vital, yaitu air.
Menurut cerita Kepala dusun, daerah Gambiranom merupakan daerah dengan tanah berbatuan karst, sehingga penduduknya sulit mendapatkan air, hanya mengandalkan air hujan untuk aktivitas sehari-hari, pertanian, dan minum hewan ternak mereka. Warga menampung air hujan menggunakan talang air ditepian atap rumahnya kemudian air tersebut dialirkan menuju bak-bak penampungan yang berada didalam rumah.
“Saat ini belum ada warga yang berhasil membuat sumur, sepanjang musim kemarau warga membeli air, rata-rata setiap keluarga membeli dua tanki air setiap bulannya. Padahal warga dengan jumlah 56 KK ini, bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Secara ekonomi mereka kesulitan untuk membeli air. Hingga banyak diantara warga yang kemudian menjual ternaknya untuk membeli air”, kata kepala dusun.
Cerita terus mengalir, beliau bercerita tentang segala upaya dilakukan untuk mendapatkan air, mulai dari meminta bantuan pemerintah hingga swadaya masyarakat yang meminta bantuan sanak saudara. Dari cerita yang disampaikan tersirat mimpi besar mereka yang sampai sekarang belum terwujud. Impian adanya air yang mengalir di dusun mereka.
“Jika nanti ada yang membantu kami untuk membangun system air seperti PAM yang ada di kota, kami siap untuk bekerjasama walaupun tidak dengan uang, kami akan menyediakan tenaga sebagai bentuk partisipasi”, ucap kepala dusun yang menunjukkan kepada kami bahwa warga desa Gambiranom juga guyup rukun.
Air disini seperti harta karun yang luar biasa berharganya. Setiap tetesnya sangat berarti, hingga mereka rela menjual hewan ternak untuk membeli air ketika kemarau tiba. Kemarau ibaratkan musim yang seolah merenggut mata pencaharian mereka.
Aku tak dapat membayangkan hidup disini. Membayangkan air yang terbatas, bahkan tidak ada air. Tak ada satupun warga yang mempunyai sumur. Tak ada sungai karena tanah bebatuan yang sedari tadi memenuhi indra penglihatanku. Tanah yang bercampur bongkahan, putih pucat, keras, dan tampak teratur karena tertata rapi.
Di akhir cerita, kepala dusun menunjukan pada kami tempat penampungan air dan talang air yang digunakan sebagai jembatan air menuju kolam penampungan. Kolam penampungan berbentuk persegi panjang dan besar, mungkin dapat digunakan berenang untuk anak usia SD. Didalamnya tak begitu jernih, ada ikan kecil-kecil yang berenang didalamnya. Ikan yang digunakan untuk menghalau jentik-jentik nyamuk. Sayangnya kolam ini tidak begitu dijaga kebersihannya. Aku menemukan sampah plastik bungkus pasta gigi mengapung bersama ikan-ikan.
Talang air juga tidak terawat, terdapat karat dan sarang laba-laba. Karat ini yang tidak baik jika bercampur dengan air. Air minum dengan konsentrasi zat besi tinggi tidak akan membuat orang sakit. Namun, zat besi dapat mengubah warna dan bau air yang kemungkinan sudah tercemar sumber airnya.

Setelah ditunjukkan kolam dan talang air, perjalanan kami dilanjutkan melihat lokasi titik yang telah di survey oleh tim kami sebelumnya. Kami berjalan ke arah lapangan. Nuansa hijau memanjakan mata kami. Disinilah tim ahli melakukan survey yang disebut survey geolistrik. Menurut tim ahli PKPU, ia menjelaskan bahwa geolistrik adalah salah satu teknik untuk menentukan sumber air yang banyak dan bagus untuk dikonsumsi. Metode ini membutuhkan lahan yang cukup untuk eksplorasi mencari sumber mata air dalam tanah. Dengan adanya teknik ini kita dapat mengetahui kontur tanah yang terkandung didalamnya yang memiliki bebatuan.
Pengeboran air tanah kedalaman 50-200 m membutuhkan survey geolistrik, tanah yang memiliki karakteristik bebatuan akan terdeteksi sejala jelas bahwa di dalam air terdapat sumber  air yang melimpah dan memiliki debit air yang banyak.
Dari hasil survey geolistrik yang dilakukan oleh tim ahli dan tim PKPU Semarang melakukan survey di tiga titik. Didapatkan hasil air tanah dengan debit yang cukup pada kedalaman 170 m. Bukan angka yang sedikit dalam hal kedalaman, perlu tim ahli khusus dalam pengeboran di tanah berbatu. Tentunya memakan biaya yang tidak sedikit.

Di musim penghujan, dusun ini tampak asri. Warga dapat sejenak menikmati air tanpa cemas harus menjual hewan ternak mereka. Namun, jika kemarau tiba, dusun ini seperti bukan di Indonesia. Begitu gersang.
Adzan dzuhur berkumandang, kami melangkahkan kaki menuju mushala terdekat. Dalam perjalanan ke mushala kami melewati rumah penduduk yang kebanyakan sudah permanen. Aku bertanya pada kepala dusun, “Mengapa bangunan rumah sudah baik dengan bangunan yang permanen, sedangkan mereka tak dapat mengupayakan sumur?”
Kepala dusun tersenyum dan menjawab, “Pola pikir warga disini yang lebih mengutamakan pembangunan rumah daripada yang lain. Apalagi jika akan terjadi pernikahan, pasti membangun rumah. Selain karena pola pikir,  sistem ekonomi juga bobrok karena digrogoti oleh sistem pinjam berbunga. Tak hanya satu pintu peminjaman dari para peminjam berbunga itu, tapi dari berbagi pintu mereka pinjami. Seperti gali lubang tutup lubang. Belum lagi kondisi tanah berbatu disini yang dalam pengeboran butuh dana yang tak sedikit. Padahal mata pencaharian warga hanya petani dan peternak, tentunya mereka belum mampu.”



Aku jadi teringat nenek yang kami beri tumpangan tadi, mungkin inilah kenapa rumah anak perempuan nenek itu bagus sedang rumahnya tidak. Nenek itu seorang ibu pada umumnya, rela membangun bagus rumah anaknya dan membiarkan rumahnya seperti itu.
Dusun ini membukakan mata hatiku. Membuatku ingin membantu mereka. Menunjukkan pada mereka yang telah berkecukupan diluar sana, bahwa saudara kita sedang membutuhkan uluran tangan kita.
Seusai shalat, kami melanjutkan perjalanan ke Gunung kidul. Daerah yang dulu sempat bernasib sama dengan dusun Gambiranom namun sudah mengalami perbaikan karena tim PKPU jogja dan masyarakat disana mengupayakan air bersih di dusun mereka.
Perjalanan menuju Gunung Kidul, kami tak merasakan seperti gempa ketika kami menuju Gambiranom, hanya saja naik turun seperti naik jet coaster di wahana permainan, hal yang membuat mata ini sulit terpejam. Sudah segala upaya dilakukan agar dapat tidur. Mata sudah mengantuk, tapi kondisi jalan membuat diri senantiasa tersadar. Sehingga kembali menyaksikan pemandangan indah lainnya lewat jendela mobil, misalnya kami melewati tempat pengolahan madu.

Perjalanan memakan waktu lebih dari 1 jam. Hingga kami tiba di dusun Jeruk legi, Gunung kidul. Kami singgah di sebuah rumah, yang ternyata disana adalah pusat pengelolaan Pamdus.
Pamdus adalah system pengelolaan air milik dusun Jeruk Legi. Seperti halnya PDAM yang ada di kota. Rumah sederhana ini milik warga yang dihibahkan untuk pusat pengelolaan dan administrasi Pamdus. Di dinding ada berbagai macam tulisan. Ada kesepakatan warga, foto-foto kegiatan, dan jadwal kegiatan di Pamdus. Seperti melihat majalah dinding jaman SMA.
Kami disana bertemu pak Ari selaku warga sekaligus pengelola. Ia banyak cerita berdirinya Pamdus, mulanya desa ini mengambil air dari sungai yang tidak bersih. Sungai yang dangkal, airnya sedikit itu dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, minum, dan memasak, bahkan untuk memandikan hewan ternak seperti kerbau.
Hingga tim PKPU jogja memberikan masukan dan mendorong untuk membuat sistem pembangunan air bersih, atau biasa mereka sebut Pamdus. Setelah dilakukan survey geolistrik, sumber mata air yang layak digunakan dan debit cukup untuk masyarakat sedalam 70 m.
Dilakukanlah rembug warga untuk membahas pengeboran dan pengelolaannya setelah sumur dibangun. Warga mendukung penuh, mereka ikut berkomitmen turut andil dalam pembangunan. Sebulan penuh mereka bergotong royong bergantian membangun bak penampungan selagi pengeboran dilakukan tim ahli. Bak penampungan berbentuk seperti kolam besar yang ditempatkan di dataran tertinggi dusun. Dari kolam penampungan dipasang pipa yang nantinya mengalir ke rumah warga sepaket dengan meteran seperti system yang digunakan PDAM.
Tak hanya bapak-bapak, ibu-ibu, dan pemudanya pun ikut terjun membantu proses pembangunan. Hingga target mereka ketika hari raya itu tiba, mereka dapat merayakannya dengan masuknya air bersih ke dusun Jeruk Legi. Pembangunan dimulai saat ramadhan tiba, kondisi menahan lapar dan dahaga tak menyurutkan langkah warga.
Impian warga dusun Jeruk Legi terwujud, air mengalir di rumah warga. Mereka kini punya sistem pengelolaan pamdus, mulai dari petugas yang mencatat meteran hingga yang mengurus administrasi. Semua berdasarkan sukarela dari warga, tanpa mendapat upah untuk pengelolanya. Kini dari hasil pengelolaan Pamdus, uang kas terkumpul tiga belas juta rupiah. Dana yang digunakan untuk maintenance alat, menguras bak, atau menambah pelanggan Pamdus. Sistem pembayaran yang sudah disepakati sebelumnya dalam rembug warga.


Setelah program Pamdus berjalan dengan baik, di dusun tersebut menggalakan program arisan jamban dan penanaman pohon untuk menyerap air. Kehidupan mereka kini jauh lebih baik. Air memang sumber kehidupan.
Setelah berkeliling untuk melihat Pamdus, kami berpamitan dengan warga dan tim PKPU Jogja. Kondisi di dusun Jeruk Legi setelah berdiri Pamdus membuatku berangan-angan kelak dusun Gambiranom, Wonogiri akan merasakan hal sama.
Saat memandang matahari tenggelam ketika perjalanan menuju Semarang aku bersimpuh. Matahari tenggelam yang aku lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh orang-orang di dusun Gambiranom Wonogiri. Matahari itu menjadi saksi bahwa kelak dengan ikhtiar, bantuan, dan doa kita, air akan mengalir disana, menyuburkannya dengan menyebar benih-benih hijau seperti pemandangan surga.
Akhir dari perjalananku selama 12 jam antara Semarang-Wonogiri-Jogja justru mengantarkanku pada titik awal pencarian arti berbagi selanjutnya. Makin mendekatkanku pada keyakinan bahwa masih banyak di luar sana yang membutuhkan bantuan kita. 

Oleh : Margie Agami Haq
Editor : Abhy Hikmatyar

0 komentar:

Posting Komentar