Senin, 21 Maret 2011

PKPU Ikuti Sidang Panel Tinggi UNESCO di Markas PBB

NEW YORK - Perwakilan PKPU di Amerika, yaitu Aslan, berkesempatan menghadiri forum UNESCO “High Panel on Peace and Dialogue Aiming Cultures” New York, Jumat (11/3/2011) dengan para pembicara berasal dari berbagai kalangan, negara, status dan profesi.

Acara dimulai dengan pembukaan dan sambutan dari Sekretaris Jendral PBB Mr. Ban Kim Moon, dilanjutkan sambutan dari Ms. Irina Bokova sebagai Direktur dari UNESCO. Dalam pemaparannya Direktur UNESCO menyampaikan sejauhmana peran aktif UNESCO dalam memimpin inisiasi aktif proyek “Internatinal Decade for a Culture of Peace and Non-Violence for the Children of the World (2001-2010)” dan dicanangkannya tahun 2010 sebagai tahun internasional dalam memahami berbagai kebudayaan.

Ms. Irina Bokova juga menyebut kesetaraan
gender didalam program-program UNESCO telah lama diaplikasikan.  Berikutnya, acara diteruskan dengan pemaparan dari berbagai narasumber. Kesempatan pertama diberikan kepada Mr. Forest Whitaker. Beliau adalah seorang aktor Amerika yang perannya signifikan dalam membantu jalannya rekonsiliasi konflik di benua hitam Afrika dengan terlibat aktif mengembalikan anak-anak korban "child army" sehingga bisa diterima kembali oleh lingkungannya.

Mr. Whitaker mengawali presentasinya dengan memutar film dokumenter “child army” di Afrika dan bagaimana dia terlibat didalamnya. Di film ini terlihat jelas bagaimana anak anak yang dibawah umur dipaksa untuk menjadi prajurit dan dipersenjatai, dan kalau mereka menolak konsekuensinya mereka akan dibunuh.  Diakhir pemaparannya, Mr. Whitaker menyimpulkan peran pendidikan (education) sangat vital dalam keberhasilan mengembalikan anak-anak bekas child army ini ke lingkungannya.

Selanjutnya, ada juga Kjell Magne Bondevik, mantan Perdana Menteri Norwegia yang kini aktif di lembaga yang didirikannya dan bahkan menjadi presidennya yaitu The Oslo Center for Peace and Human Right. Pengalaman Kjell dalam orasinya adalah mempelajari dan memahami agama-agama lain selain kristen adalah keniscayaan dan ini sangat diperlukan dalam proses rekonsiliasi terutama menyelesaikan konflik yang berhubungan dengan lintas agama.

Sebagai informasi di Norwegia mayoritas umat kristen disana adalah Lutheran Christian dimana sekolah-sekolah Norwegia materi pelajaran dengan fokus mempelajari dan memahami keyakinan agama selain kristen sudah lama diterapkan. Senada dengan yang dipaparkan oleh Mr. Kjell, Pangeran Turki Al Faisal Al Saud lewat lembaga yang dipimpinya juga aktif mensponsori kegiatan dialog antara umat beragama diberbagai belahan dunia.

Berikutnya adalah, Ivonne A-Baki seorang mantan mentri perdagangan di Ekuador (2003-2005). Ivonne A-Baki menempuh PhD dibidang Hubungan Internasional dengan fokus ke manajemen konflik, di Harvard University. Dalam pemaparannya, Ivonne dan profesornya sempat dimintai oleh pemerintah Ecuador, untuk membantu sengketa wilayah antara Peru dan Ecuador.

Intinya sama, masing-masing pihak mengklaim wilayah yang dikonflikkan termasuk dalam teritori masing masing, konflik ini sudah berjalan puluhan tahun. Yang membuat konflik ini menjadi unik adalah konflik lain seperti contoh konflik antara umat beragama, jelas karena perbedaan keyakinan tapi konflik antara Peru dan Ecuador hanya disebabkan dalam masalah pengelolaan wilayah padahal penduduk kedua negara sama-sama memiliki kultur kebudayaan yang sama dari segi bahasa, keyakinan, dan bahkan makanan.

Dalam rangka menyelesaikan konflik ini Ivone dan Profesornya, mengundang perwakilan kedua Negara ke Harvard University. Mereka tinggal bersama beberapa hari melakukan perundingan guna mencari solusi terbaik untuk konflik yang berlangsung. Strategi Ivone pertama adalah mendudukan dua perwakilan dalam satu tempat duduk yang sejajar dan tidak berhadap-hadapan serta berselang seling. Strategi yang kedua adalah meminta tiap-tiap delegasi untuk berposisi sebaliknya dalam artian perwakilan dari Peru diminta memerankan diri mereka sebagai orang Ecuador dan sebaliknya.

Kemudian mereka diminta keluar berdua dan tidak boleh kembali keruangan sebelum mereka berhasil berkomunikasi karena pada awalnya mereka sangat kaku. Akhirnya, ketika kembali ke meja perundingan mereka diminta tanggapannya. Setelah ditanya oleh moderator apa yang diharapkan dan diinginkan untuk suksesnya proses rekonsiliasi Peru dan Ecuador, kedua pihak ternyata memiliki harapan dan keinginan yang sama. Dari meja perundingan inilah cikal bakal tercapai rekonsiliasi antara Peru dan Ecuador.

Point penting rekonsiliasi ini adalah daerah yang disengketakan tetap dalam wilyah Peru namun rakyat Ecuador punya hak untuk tinggal dan berusaha di tanah yang disengketakan tersebut. Strategi ini sempat coba diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat George Bush Jr. dalam menyikapi konflik Palestina-Israel ketika masih menjabat dan meminta Ivone A Bakki sebagai mediator. Demikian beberapa contoh yang dapat saya paparkan dari hasil presentasi para narasumber.

Berikut ini adalah point-point penting yang bisa diterapkan dalam proses rekonsiliasi. Pertama, bahwasanya sikap kerjasama (corporation) dan kemitraan (partnership) yang melahirkan solidaritas dibutuhkan dalam suksesnya rekonsiliasi. Kedua, membuka diri dengan sikap saling memaafkan (forgiveness), keadilan (justice), kebebasan (peace), dan kepercayaan (trust) adalah faktor lain yang ikut mendukung sukesesnya rekonsiliasi. Ketiga, kesediaan untuk lebih sering mendengarkan (listening) ketimbang berbicara (speaking) dan memahami (understanding) juga faktor penting lain dalam rekonsiliasi ini.

Terakhir, semua pihak dalam forum ini sepakat dan tidak meragukan lagi bahwasanya pendidikan (education) yang dimulai dari tingkat dasar merupakan sarana penting dalam kesuksesan rekonsiliasi dan UNESCO sangat terbuka mendukung proses ini. Hanya saja yang menjadi concern dari peserta adalah kualitas dari pendidikan karena sudah bukan rahasia umum lagi bahwa banyak yang menjadi tenaga guru diberbagai belahan dunia adalah mereka yang dulunya tidak dipersiapkan untuk menjadi seorang guru.

Menjadi guru adalah pilihan terakhir dari karir mereka sehingga seyognyalah pemerintah di setiap negara harus berupaya keras mengubah pola pemikiran ini. Bahwasanya menjadi guru adalah profesi mulia dan mereka yang terpilih menjadi guru adalah mereka yang dulunya sangat berprestasi di kampusnya.


:: Laporan singkat Aslan dari acara “High Panel on Peace and Dialogue Aiming Cultures” New York, 11 March 2011.



Dokumentasi:

0 komentar:

Posting Komentar