Udara sejuk memenuhi rongga paru-paruku, sepertinya hujan membasahi Tembalang - Semarang semalam tadi. Atau mungkin karena masih terlalu dini hari, untuk ukuran kota yang telah terkontaminasi polusi, udara pagi ini cukup menyegarkan. Hari ini aku bersiap lebih awal dari biasanya. Aku dan teman-teman telah membuat kesepakatan, pukul 05.00 kami bertemu di kantor. Sebuah misi yang berawal dari mimpi akan kami jalankan hari ini. Semoga misi kami berjalan lancar.
Bekerja
di sebuah Lembaga Kemanusiaan Nasional selama dua tahun adalah arena bagiku untuk menjelajahi dunia filantropi dan
segala isinya. Selama penjelajahan ini aku menemukan banyak hal lain tentang arti
berbagi. Tentu tak hanya aku, pun dengan teman-temanku seperjuangan. Banyak cerita dan catatan seru juga haru yang kami dapatkan selama langkah kaki kami mengayun dan berlari.
Catatan perjalanan kami kali ini adalah tentang sebuah pencarian sumber kehidupan yang terkubur jauh di bawah tanah bebatuan. Tentang misi yang mengantarkanku pada sebuah tempat di Wonogiri yang
selalu krisis air di kala kemarau. Aku tak menyangka, Indonesia dengan kekayaan alam
yang melimpah, ternyata ada juga di sudut lain wilayahnya yang kekurangan sumber daya alam. Daerah ini bernama Dusun Gambiranom, Desa Gambirmanis, Pracimantoro Wonogiri. Informasi dari tim pendahulu kami yang telah mengadakan survey geolistrik sebelumnya, terdapat debit air yang cukup di kedalaman 170 meter di bawah permukaan tanah. Sebuah angka yang fantastis untuk usaha pengeboran sebuah sumur.
….
Wonogiri.
Kami telah memasuki daerah perbukitan. Jalan yang kami laluipun mulai menyempit, bukan jalan beraspal lagi. Rupanya jalan ini dibangun dari susunan bebatuan yang ditata rapi. Untuk memudahkan kendaraan lewat, lajur kanan dan kiri jalan ini ditutup dengan semen, hanya selebar roda mobil saja. Ketika roda mobil keluar dari lajur semen, goncangan akan lebih terasa seperti gempa karena melewati jalan berbatu. Mata kamipum dimanjakan dengan warna hijau di kiri kanan jalan yang terlihat dari jendela
mobil, tampak pohon-pohon jati dan tanaman jagung sedang meninggi dengan suburnya.
“Daerahnya
hijau, seperti tak kekurangan air,” gumamku.
“Saat
hujan seperti ini memang terlihat subur, namun jika musim kemarau menjadi gersang,” kata Pak Indra yang sebelumnya pernah datang survey kesini.
Mobil masih melaju dengan perlahan di jalan berbatu. Dari kejauhan tampak seorang nenek berjalan di depan kami. Mendadak beliau menjadi perbincangan hangat kami, mengalahkan topik pembicaraan sebelumnya. Kami lihat nenek itu berjalan tanpa alas kaki menyusuri jalan berbatu di bawah terik matahari. Yang membuat aku bertanya-tanya, dari mana dan kemana tujuan nenek tersebut, karena sejak kami memasuki jalan perbukitan ini, kami takmenemukan rumah penduduk. Praktis, kami menyimpulkan sepertinya nenek tersebut telah berjalan seorang diri cukup jauh diantara pepohonan jati dan jagung dengan terpaan terik matahari. Kami pun memutuskan untuk memberi tumpangan kepada nenek tersebut. Ternyata sebelum mobil kami berhenti untuk menawarkan tumpangan, sang nenek telah melambaikan tangan terlebih dahulu, sinyal bahwa beliau membutuhkan tumpangan yang sebenarnya akan kami tawarkan. Nenek
tersebut tampak sangat lelah, kakinya tampak
kasar, legam dan pecah-pecah. Wajah keriputnya semakin mempertegas usianya yang
tak lagi muda. Kami pun mempersilahkan nenek untuk masuk ke dalam mobil.
Salah
seorang teman yang duduk di sebelah nenek itu mencoba mengajaknya berbicara.
Aku yang Jawa coret ini tidak paham apa yang mereka bicarakan. Hanya sedikit
tahu jika ia berjualan daun jati yang harganya takseberapa dan selalu berjalan berangkat dan pulang lagi sampai ke rumahnya.
Padahal jarak tempuh antata rumah dan pasar sangatlah jauh. Pantas saja kakinya dipenuhi varises, mungkin karena ia terlalu banyak berjalan. Hingga ketika kami
sampai rumahnya, sang nenek menunjukkan rumah yang terlihat bagus di bagian depan milik anaknya, sedang di belakang rumah bagus yang ditunjuk nenek adalah rumah miliknya. Ingin rasanya aku meneteskan
air mata. Rumah nenek itu lebih mirip sebuah kandang dengan dinding kayu usang dan ukuran petak yang kecil. Atapnya pun tak terlalu tinggi, hingga jika beberapa diantara kami akan masuk harus merendahkan kepala kami. Kenapa perbedaannya
begitu mencolok antara ia dan anaknya. Pertanyaan besar yang hanya kusimpan
sendiri. Pertemuan kami dengan sang nenek semakin membuat kami ingin membantu dusun ini.
Perjalanan
dilanjutkan menuju rumah kepala dusun. Saat ini kondisinya sedang musim hujan, jadi lumayan mata dimanjakan dengan warna hijau. Sedangkan jika kemarau
tiba, seperti berada di kota mati daerah gurun. Tampak kanan kiri bukit batu
yang tertata apik. Seperti ditata sedemikian rupa.
Sesampainya
kami di rumah kepala dusun Gambiranom, disambut dengan ramah. Rumah khas
pedesaan dengan kandang sapi disebelah rumah. Sepertinya sedang ada pekerjaan
disana. Bapak-bapaknya sedang mengolah kayu menjadi daun pintu.
Masuk ke
dalam rumah, dengan kondisi ruang tamu yang lebar. Tak seperti rumah modern
sekarang yang minimalis. Rumah dengan kursi dari kayu dan meja panjang yang
sederhana. Menggambarkan sang pemilik rumah yang sederhana. Kami dipersilahkan
duduk, dan dihidangkan makanan dan minuman dari hasil pertanian mereka. Disana
pertama kalinya dalam 25 tahun, aku merasakan minum menggunakan air tadah hujan,
pengalaman yang makin memperkaya spiritualku untuk lebih bersyukur dengan cara
yang berbeda.
Cara
mereka menyambut tamu sangat ramah dan memuliakan tamu. Semua dipersilahkan
menikmati hidangan yang tersedia. “Bagaimana rasanya?”, tanya bapak kepala
dusun. Seperti cenayang yang tahu benar tentang kegelisahan kami.
Beberapa
temanku menjawab,”Enak pak”. Aku hanya tersenyum tanda setuju.
“Semoga
teman-teman dari PKPU Semarang suka dengan hidangan yang kami sediakan”, ucap
pak kepala dusun.
Tanpa
pikir panjang aku mengambil beberapa kacang dan jagung manis. Kacang yang
digoreng menggunakan batu-batu halus menyerupai pasir dan jagung manis yang
direbus dengan air tadah hujan. Mungkin ini yang disebut bali ndeso. Warga yang memanfaatkan kearifan lokal di sekitar,
sayangnya mereka tak memiliki sesuatu yang sangat vital, yaitu air.
Menurut
cerita Kepala dusun, daerah Gambiranom merupakan daerah dengan tanah berbatuan
karst, sehingga penduduknya sulit mendapatkan air, hanya mengandalkan air hujan
untuk aktivitas sehari-hari, pertanian, dan minum hewan ternak mereka. Warga
menampung air hujan menggunakan talang air ditepian atap rumahnya kemudian air
tersebut dialirkan menuju bak-bak penampungan yang berada didalam rumah.
“Saat ini
belum ada warga yang berhasil membuat sumur, sepanjang musim kemarau warga
membeli air, rata-rata setiap keluarga membeli dua tanki air setiap bulannya.
Padahal warga dengan jumlah 56 KK ini, bermata pencaharian sebagai petani dan
peternak. Secara ekonomi mereka kesulitan untuk membeli air. Hingga banyak
diantara warga yang kemudian menjual ternaknya untuk
membeli air”, kata kepala dusun.
Cerita
terus mengalir, beliau bercerita tentang segala upaya dilakukan untuk mendapatkan
air, mulai dari meminta bantuan pemerintah hingga swadaya masyarakat yang
meminta bantuan sanak saudara. Dari cerita yang disampaikan tersirat mimpi
besar mereka yang sampai sekarang belum terwujud. Impian adanya air yang mengalir di dusun mereka.
“Jika
nanti ada yang membantu kami untuk membangun system air seperti PAM yang ada di
kota, kami siap untuk bekerjasama walaupun tidak dengan uang, kami akan
menyediakan tenaga sebagai bentuk partisipasi”, ucap kepala dusun yang menunjukkan
kepada kami bahwa warga desa Gambiranom juga guyup rukun.
Air
disini seperti harta karun yang luar biasa berharganya. Setiap tetesnya sangat
berarti, hingga mereka rela menjual hewan ternak untuk
membeli air ketika kemarau tiba. Kemarau ibaratkan musim yang seolah merenggut
mata pencaharian mereka.
Aku tak
dapat membayangkan hidup disini. Membayangkan air yang terbatas, bahkan tidak
ada air. Tak ada satupun warga yang mempunyai sumur. Tak ada sungai karena
tanah bebatuan yang sedari tadi memenuhi indra penglihatanku. Tanah yang
bercampur bongkahan, putih pucat, keras, dan tampak teratur karena tertata
rapi.
Di akhir
cerita, kepala dusun menunjukan pada kami tempat penampungan air dan talang air
yang digunakan sebagai jembatan air menuju kolam penampungan. Kolam penampungan
berbentuk persegi panjang dan besar, mungkin dapat digunakan berenang untuk
anak usia SD. Didalamnya tak begitu jernih, ada ikan kecil-kecil yang berenang
didalamnya. Ikan yang digunakan untuk menghalau jentik-jentik nyamuk. Sayangnya
kolam ini tidak begitu dijaga kebersihannya. Aku menemukan sampah plastik
bungkus pasta gigi mengapung bersama ikan-ikan.
Talang
air juga tidak terawat, terdapat karat dan sarang laba-laba. Karat ini yang
tidak baik jika bercampur dengan air. Air minum dengan konsentrasi zat besi
tinggi tidak akan membuat orang sakit. Namun, zat besi dapat mengubah warna dan
bau air yang kemungkinan sudah tercemar sumber airnya.
Setelah
ditunjukkan kolam dan talang air, perjalanan kami dilanjutkan melihat lokasi
titik yang telah di survey oleh tim kami sebelumnya. Kami berjalan ke arah
lapangan. Nuansa hijau memanjakan mata kami. Disinilah tim ahli melakukan
survey yang disebut survey geolistrik. Menurut tim ahli PKPU, ia menjelaskan
bahwa geolistrik adalah salah satu teknik untuk menentukan sumber air yang
banyak dan bagus untuk dikonsumsi. Metode ini membutuhkan lahan yang cukup
untuk eksplorasi mencari sumber mata air dalam tanah. Dengan adanya teknik ini
kita dapat mengetahui kontur tanah yang terkandung didalamnya yang memiliki
bebatuan.
Pengeboran
air tanah kedalaman 50-200 m membutuhkan survey geolistrik, tanah yang memiliki
karakteristik bebatuan akan terdeteksi sejala jelas bahwa di dalam air terdapat
sumber air yang melimpah dan memiliki
debit air yang banyak.
Dari
hasil survey geolistrik yang dilakukan oleh tim ahli dan tim PKPU Semarang melakukan
survey di tiga titik. Didapatkan hasil air tanah dengan debit yang cukup pada kedalaman
170 m. Bukan angka yang sedikit dalam hal kedalaman, perlu tim ahli khusus
dalam pengeboran di tanah berbatu. Tentunya memakan biaya yang tidak sedikit.
Di musim
penghujan, dusun ini tampak asri. Warga dapat sejenak menikmati air tanpa cemas
harus menjual hewan ternak mereka. Namun, jika kemarau tiba, dusun ini seperti
bukan di Indonesia. Begitu gersang.
Adzan
dzuhur berkumandang, kami melangkahkan kaki menuju mushala terdekat. Dalam
perjalanan ke mushala kami melewati rumah penduduk yang kebanyakan sudah
permanen. Aku bertanya pada kepala dusun, “Mengapa bangunan rumah sudah baik dengan
bangunan yang permanen, sedangkan mereka tak dapat mengupayakan sumur?”
Kepala dusun tersenyum dan menjawab, “Pola pikir
warga disini yang lebih mengutamakan pembangunan rumah daripada yang lain. Apalagi
jika akan terjadi pernikahan, pasti membangun rumah. Selain karena pola
pikir, sistem ekonomi juga bobrok karena
digrogoti oleh sistem pinjam berbunga. Tak hanya satu pintu peminjaman dari
para peminjam berbunga itu, tapi dari berbagi pintu mereka pinjami. Seperti
gali lubang tutup lubang. Belum lagi kondisi tanah berbatu disini yang dalam
pengeboran butuh dana yang tak sedikit. Padahal mata pencaharian warga hanya
petani dan peternak, tentunya mereka belum mampu.”
Aku jadi
teringat nenek yang kami beri tumpangan tadi, mungkin inilah kenapa rumah anak
perempuan nenek itu bagus sedang rumahnya tidak. Nenek itu seorang ibu pada
umumnya, rela membangun bagus rumah anaknya dan membiarkan rumahnya seperti
itu.
Dusun ini
membukakan mata hatiku. Membuatku ingin membantu mereka. Menunjukkan pada
mereka yang telah berkecukupan diluar sana, bahwa saudara kita sedang
membutuhkan uluran tangan kita.
Seusai
shalat, kami melanjutkan perjalanan ke Gunung kidul. Daerah yang dulu sempat
bernasib sama dengan dusun Gambiranom namun sudah mengalami perbaikan karena
tim PKPU jogja dan masyarakat disana mengupayakan air bersih di dusun mereka.
Perjalanan
menuju Gunung Kidul, kami tak merasakan seperti gempa ketika kami menuju
Gambiranom, hanya saja naik turun seperti naik jet coaster di wahana permainan, hal yang membuat mata ini sulit
terpejam. Sudah segala upaya dilakukan agar dapat tidur. Mata sudah mengantuk,
tapi kondisi jalan membuat diri senantiasa tersadar. Sehingga kembali
menyaksikan pemandangan indah lainnya lewat jendela mobil, misalnya kami
melewati tempat pengolahan madu.
Perjalanan
memakan waktu lebih dari 1 jam. Hingga kami tiba di dusun Jeruk legi, Gunung
kidul. Kami singgah di sebuah rumah, yang ternyata disana adalah pusat
pengelolaan Pamdus.
Pamdus
adalah system pengelolaan air milik dusun Jeruk Legi. Seperti halnya PDAM yang
ada di kota. Rumah sederhana ini milik warga yang dihibahkan untuk pusat
pengelolaan dan administrasi Pamdus. Di dinding ada berbagai macam tulisan. Ada
kesepakatan warga, foto-foto kegiatan, dan jadwal kegiatan di Pamdus. Seperti
melihat majalah dinding jaman SMA.
Kami disana
bertemu pak Ari selaku warga sekaligus pengelola. Ia banyak cerita berdirinya
Pamdus, mulanya desa ini mengambil air dari sungai yang tidak bersih. Sungai
yang dangkal, airnya sedikit itu dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, minum, dan
memasak, bahkan untuk memandikan hewan ternak seperti kerbau.
Hingga
tim PKPU jogja memberikan masukan dan mendorong untuk membuat sistem
pembangunan air bersih, atau biasa mereka sebut Pamdus. Setelah dilakukan
survey geolistrik, sumber mata air yang layak digunakan dan debit cukup untuk
masyarakat sedalam 70 m.
Dilakukanlah
rembug warga untuk membahas pengeboran dan pengelolaannya setelah sumur
dibangun. Warga mendukung penuh, mereka ikut berkomitmen turut andil dalam
pembangunan. Sebulan penuh mereka bergotong royong bergantian membangun bak
penampungan selagi pengeboran dilakukan tim ahli. Bak penampungan berbentuk
seperti kolam besar yang ditempatkan di dataran tertinggi dusun. Dari kolam
penampungan dipasang pipa yang nantinya mengalir ke rumah warga sepaket dengan
meteran seperti system yang digunakan PDAM.
Tak hanya
bapak-bapak, ibu-ibu, dan pemudanya pun ikut terjun membantu proses
pembangunan. Hingga target mereka ketika hari raya itu tiba, mereka dapat
merayakannya dengan masuknya air bersih ke dusun Jeruk Legi. Pembangunan
dimulai saat ramadhan tiba, kondisi menahan lapar dan dahaga tak menyurutkan
langkah warga.
Impian warga dusun Jeruk Legi terwujud, air
mengalir di rumah warga. Mereka kini punya sistem pengelolaan pamdus, mulai
dari petugas yang mencatat meteran hingga yang mengurus administrasi. Semua
berdasarkan sukarela dari warga, tanpa mendapat upah untuk pengelolanya. Kini
dari hasil pengelolaan Pamdus, uang kas terkumpul tiga belas juta rupiah. Dana
yang digunakan untuk maintenance alat, menguras bak, atau menambah pelanggan
Pamdus. Sistem pembayaran yang sudah disepakati sebelumnya dalam rembug warga.
Setelah
program Pamdus berjalan dengan baik, di dusun tersebut menggalakan program
arisan jamban dan penanaman pohon untuk menyerap air. Kehidupan mereka kini
jauh lebih baik. Air memang sumber kehidupan.
Setelah
berkeliling untuk melihat Pamdus, kami berpamitan dengan warga dan tim PKPU
Jogja. Kondisi di dusun Jeruk Legi setelah berdiri Pamdus membuatku
berangan-angan kelak dusun Gambiranom, Wonogiri akan merasakan hal sama.
Saat
memandang matahari tenggelam ketika perjalanan menuju Semarang aku bersimpuh.
Matahari tenggelam yang aku lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga
dilihat oleh orang-orang di dusun Gambiranom Wonogiri. Matahari itu menjadi
saksi bahwa kelak dengan ikhtiar, bantuan, dan doa kita, air akan mengalir
disana, menyuburkannya dengan menyebar benih-benih hijau seperti pemandangan
surga.
Akhir
dari perjalananku selama 12 jam antara Semarang-Wonogiri-Jogja justru
mengantarkanku pada titik awal pencarian arti berbagi selanjutnya. Makin
mendekatkanku pada keyakinan bahwa masih banyak di luar sana yang membutuhkan
bantuan kita.
Oleh : Margie Agami Haq
Editor : Abhy Hikmatyar